Senin, 28 Oktober 2013

model-model membaca

    Model Membaca Bottom-Up ( Bawah-Atas)
Bottom-Up berarti dari bawak ke atas maksudnya makna itu berasal dari bawah (teks) menujunke atas (kepala/otak). Struktur-struktur dalam teks dianggap sebagai unsur yang terpenting dalam menentukan pemahaman, sedangkan struktur-struktur yang diketahui sebelumnya oleh pembaca hanyalah merupakan hal yang menjadi tambahan saja dalam menentukan pemahaman teks.
Pada proses membaca model ini intinya adalah proses penerjemahan decode (mengubah tanda-tanda menjadi berita), dan proses ekode (mengubah berita menjadi lambing-lambang) Model membaca bottom-up merupakan proses yang melibatkan ketepatan, rincian, dan pengidentifikasian huruf-huruf, kata-kata, pola ejaan dan unit bahasa lainnya sehingga melahirkan sebuah berita. Selain itu agar bisa memahami bacaan pada model ini, pembaca harus memiliki keterampilan yang berhubungan dengan lambang bahasa yang digunakan dalam teks.
Proses membaca Bottom-up dapat dikonsepkan sebagai berikut :
1.    Mata melihat
2.    Huruf-huruf diidentifikasikan dan disuarakan
3.    Kata-kata dikenali
4.    Kata-kata dikelompokkan ke dalam kelas gramatikal dan struktur kalimat
5.    Kalimat memberikan makna
6.    Kemudian makna mengacu pada pemikiran.

Berdasarkan konsep diatas jelaslah bahwa proses bottom-up atau model membaca bawah atas merupakan proses membaca yang dimulai dari data yang berupa huruf-huruf, kata-kata, kalimat-kalimat yang mengandung arti. Pada model membaca bottom-up peran schemata sangat berperan dalam menentukan makna, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Schemata itu sendiri merupakan latar belakang ilmu pengetahuan. Contoh fungsi schematadalam menentukan makna berdasarkan model bottom-up yaitu bila pembaca mengenal sesuatu lebih dulu sebelum membaca, misalnya si pembaca menguasai ilmu sastra maka begitu si pembaca membaca buku tentang sastra maka si pembaca akan banyak mengenal istilah-istilah yang dibaca dalam buku tentang sastra tersebut, sehingga akan mudah bagi si pembaca untuk memahami bacaannya. Begitu pula sebaliknya.


    Model Membaca Top-down

Pada model membaca top-down atau yang dikenal dengan model membaca atas bawah terlebih dahulu pembaca menebak atu mengira-ngira makna atau maksud apa yang terdapat dalam bacaan. Misalnya bila si pembaca mengetahui tantang ilmu politik kemudian dia membaca buku tentang politik maka si pembaca tersebut akan berpikir terlebih dahulu kira-kira apa yang akan dibahas dalam buku tersebut, sebelum membacanya. Bila proses membacanya berlangsung si pembaca tidak akan mengalami banyak kesulitan tentang makna yang dimaksud oleh penulis buku karena si pembaca sudah memiliki pengetahuan tentang ilmu politik.

Proses model membaca top-down dapat dikonsepkan sebagai berikut :
1.    Mata melihat pada teks
2.    Berpikir dan menduga tentang makna
3.    Melihat kalimat sebagai contoh keseluruhan untuk mencari makna
4.    Untuk mencari makna lebih jauh, melihat pada kata-kata
5.    Jika masih belum pasti, melihat lagi pada huruf-huruf
6.    Kemudian kembali pda pemikiran makna.
Berdasarkan proses tersebut jelaslah bahwa model membaca top-down dimulai dari proses pemahaman teks dari tataran yang lebih tinggi.
    Model Membaca Interaktif
Model Teori Interaktif Model ini merupakan kombinasi antara pemahaman model Top-Down dan model Bottom-Up. Dalam model ini si pembaca yang lemah jika menggunakan strategi bottom-up bisa menggunakan strategi top-down. Pada model interaktif, pembaca menggunakan pendekatan model membaca atas bawah untuk memprediksi makna, kemudian beralih ke pendekatan model membaca bawah atas untuk menguji apakah hal itu benar-benar dikatakan oleh penulis. Artinya, kedua model tersebut terjadi secara bergantian pada saat membaca yang semata-mata bertujuan untuk memperoleh informasi baru.
  

BAHASA DAN KEBUDAYAAN

BAHASA DAN KEBUDAYAAN

1.1.    Hakikat Kebudayaan
Krober dan Kluckhorn (1952) telah mengumpulkan berpuluh-puluh definisi mengenai kebudayan, dan mengelompokannya menjadi 6 golongan menurut sifat definisi itu yakni:
1.    Definisi yang deskriptif, yakni definisi yang menekankan pada unsur-unsur kebudayaan
2.    Definisi yang historis yakni yang menekankan bahwa  kebudayaan itu diwarisi secara kemasyarakatan
3.    Definisi normatif yakni definisi yang menenkankan hakikat kebudayaan sebagai aturan hidup dan tingkah laku
4.    Definisi yang psikologis, yakni definisi yang menekankan pada kegunaan kebudayaan dalam penyusuaian diri kepada lingkungan, pemecahan permasalahan, dan belajar hidup
5.    Definisi yang struktural, yakni definisi yang menekankan sifat kebudayaan sebagai suatu sistem yang berpola dan teratur
6.    Definisi yang genetik, yakni definisi yang menekankan pada terjadinya kebudayaan sebagai hasil karya manusia.

Pengelompokan definisi –definisi kebudayaan yang dibuat Nababan (1984) menunjukan bahwa kebudayaan kebudayaan itu melingkupi segala aspek dan unsur kehidupan manusia, Nababan mengelompokan definisi kebudayaan atas empat golongan, yaitu:
1.    Definisi yang melihat kebudayaan sebagai pengatur dan pengikat masyarakat
2.    Definisi yang melihat kebudayaan sebagai hal-hal yang diperoleh manusia melalui belajar atau pendidikan (nurture)
3.    Definisi yang melihat kebudayaan sebagai kebiasaan dan perilaku manusia.
4.    Definisi yang melihat kebudayaan sebagai sistem komunikasi yang dipakai masyarakat untuk memperoleh kerjasama, kesatuan, dan kelangsungan hidup masyarakat manusia.

Definisi-definis golongan (4) dari pengelompokkan yang dibuat Nababan secara eksplisit menyatakan bahwa semua sistem komunikasi yang digunakan manusia, tentunya juga bahasa, adalah termasuk dalam kebudayaan. Itulah sebabnya Nababan (1984:49) secara gamblang menyatakan bahwa kebudayaan adalah sistem aturan-aturan komunikasi dan interaksi yang memungkinkan suatu masyarakat terjadi.

Dengan kata lain kebudayaan adalah segala hal yang menyangkut kehidupan manusia, termasuk aturan atau hukum yang berlaku dalam masyarakat, hasil-hasil yang dibuat manusia, kebiasaan dan tradisi yang biasa dilakukan, dan termasuk juga alat interaksi atau komunikasi yang digunakan, yakni bahasa  dan alat-alat komunikasi nonverbal lainnya.

Kontrajaraningrat (1992) mengatakan bahwa kebudayaan hanya dimiliki manusia, dan tumbuh bersama dengan berkembangnya masyarakat manusia. Dua aspek tolak “kerangka Kebudayaan” yang digunakan oleh Kontjaraningrat untuk memahami kebudayaan adalah sebagai berikut :
1.    Wujud Kebudayaan
Yang disebut wujud kebudayaan itu berupa :
a.    Wujud gagasan (Sistem budaya) yang bersifat abstrak
b.    Perilaku (Sistem sosial) yang bersifat agak konkret
c.    Fisik atau benda (Kebudayaan Fisik) yang bersifat sangat konkret
2.    Isi kebudayaan
Isi kebudayaan terdiri atas tujuh unsur yang bersifat universal, artinya ketujuh unsur ini terdapat dalam setiap masyarakat yang ada di dunia ini. Ketujuh unsur tersebut adalah :
1.    Bahasa
2.    Sistem teknologi
3.    Sistem mata pencaharian hidup atau ekonomi
4.    Organisasi sosial
5.    Sistem pengetahuan
6.    Sistem religi
7.    Kesenian.





1.2  Hubungan Bahasa dan Kebudayaan
Hubungan antara bahasa dan kebudayaan merupakan hubungan subordinatif, dimana bahasa berada di bawah lingkup kebudayaan, namun ini bukanlah satu-satunya konsep yang dibicarakan orang, sebab disamping itu ada pendapatlain yang menyatakan bahwa bahasa dan kebudayaan mempunyai hubungan yang koordinatif, yakni hubungan yang sederajat yang kedudukannya sama tinggi. Masinanbaw (1985) menyebutkan bahwa bahasa (istilah beliau: kebahasaan) dan kebudayaan merupakan dua sistem yang “melekat” pada manusia. Jika kebudayaan adalah satu sistem yang mengatur interaksi manusia di dalam masyarakat, maka kebahasaan adalah suatu sistem yang berfungsi sebagai sarana berlangsungya interaksi itu. Dengan kata lain, hubungan yang erat itu berlaku sebagai: kebudayaan merupakan sistem yang mengatur interaksi manusia, sedangkan kebahasaan merupakan sistem yang berfungsi sebagai sarana keberlangsungan sarana itu.

Jadi pendapat ini mengatakan kebahasaan dan kebuayaan merupakan dua fenomena yang berbeda tetapi hubungannya sangat erat, sehingga tidak dapat dipisahkan. Hal kedua yang menarik dalam hubungan koordinatif ini adalah adanya hipotesis yang sangat kontroversial, yaitu hipotesis dari dua pakar linguistik ternama, yakni Edward Sapir dan Benjamin Lee whorf. Karena itu, hipotesis ini dikenal dengan nama hipotesis Sapir-Whorf, dan lazim juga disebut relativitas bahasa (Inggris: Linguistic relativity). Di dalam hipotesis itu dikemukakan bahwa bahasa bukan hanya menentukan corak budaya, tetapi juga menentukan cara dan jalan pikiran manusia dan oleh karena itu, mempengaruhi pula tingkah lakunya. Dengan kata lain, suatu bangsa yang berbeda bahasanya dari bangsa yang lain, akan mempunyai corak budaya  dan jalan pikiran yang berbeda pula. Jadi, perbedaan-perbedaan budaya dan jalan pikiran manusia itu bersumber dari perbedaan bahasa, atau tanpa adanya bahasa manusia tidak mempunyai pikiran sama sekali. Kalau bahasa itu mempengaruhi kebuayaaan dan jalan pikiran manusia, maka ciri-ciri yang ada dalam suatu bahasa akan tercermin pada sikap dan budaya penuturnya.

Hipotesis Sapir – Whorf ini yang menyatakan perbedaan berpikir disebabkan oleh adanya perbedaan bahasa ini, akan menyebabkan orang Arab, akan melihat kenyataan (realitas) secara berbeda dengan orang Jepang, sebab bahasa Arab tidak sama dengan bahasa Jepang. Dalam ilmu pengetahuan, seperti juga dikemukakan oleh Masinambouw (1985), bahasa itu hanyalah alat untuk menyatakan atau menyampaikan pikiran. Suatu pikiran bila dinyatakan dengan bahasa yang berbeda-beda tidaklah akan menjadi berbeda-beda, pikiran itu akan tetap sama. Hanya karena bahasa itu bersifat unik maka rumusannya mungkin menjadi tidak akan sama.

Orang yang mengikuti pendapat hipotesis Sapir – Whorf itu tidak banyak  : pertama, karena sejak semula orang meragukan bahwa manusia mempunyai perbedaan yang sejauh itu; kedua diketahui kemudian bahwa Whorf telah melakukan beberapa kesalahan teknis dalam kajiannya.

Kalau kita ikuti pendapat Silzer (1990) yang mengatakan bahwa bahasa dan kebudayaan merupakan dua buah fenomena yang terikat. maka apa yang tampak dalam budaya akan tercermin dalam bahasa, atau juga sebaliknya.

Adanya hubungan tindak berbahasa dengan sikap mental para penuturnya ada dibicarakan oleh Koentjaraningrat seorang pakar antropologi Indonesia. Menurut Koentjaraningrat (1990) buruknya kemampuan berbahasa Indonesia sebagian orang Indonesia, termasuk kaum intelektualnya, adalah karena adanya sifat-sifat negatif yang melekat pada mental pada sebagian besar orang Indonesia. Sifat-sifat negative itu adalah suka merehmekan mutu, mental menerabas, tuna harga diri, menjauhi disiplin, enggam bertanggung jawab, dan suka latah atau ikut-ikutan.  Maka dengan adanya sifat-sifat negative itu jika diuraikan dapat disimpulkan bahwa ternyata yang mempengaruhi perilaku berbahasa adalah budaya . budaya disini dalam arti luas, termasuk sifat dan sikap yang dimiliki oleh penutur.

Untuk lebih memahami adanya hubungan budaya dan tindak tutur, serta melihat adanya budaya yang tidak sama, sehingga melahirkaan pola tindak tutur yang berbeda, camkan ilustrasi berikut. Dalam masyarakat tutur Indonesia kalau ada orang memuji, misalnya, dengan mengatakan, “Bajumu bagus sekali!”, atau, “Wah, rumah saudara besar sekali!”, maka yang dipuji akan menjawab pujian itu dengan nada menolak dan merendah, misalnya dengan mengatakan, “Ah, ini cuma baju merah, kok!”, dan, “yah, beginilah namanya juga rumah di kampung!”. Tetapi kalau hal itu terjadi dalam budaya inggris, tentu akan dijawab dengan ucapan, “Terima kasih!”.
   
11.3  Etika Berbahasa
Pendapat Masinambouw (1984) yang mengatakan bahwa sistem bahasa mempunyai fungsi sebagai sarana berlangsungnya interaksi manusia di dalam masyarakat, maka berarti di dalam tindak laku berbahasa haruslah disertai norma-norma yang berlaku di dalam budaya itu. Sistem tindak laku berbahasa menurut norma-norma budaya ini disebut etika berbahasa atau tata cara berbahasa (Inggris: linguistic etiquette, lihat Geertz 1976)

    Etika berbahasa antara lain “mengatur” :
     Apa yang harus kita katakan pada waktu dan keadaan tertentu kepada seorang partisipan tertentu berkenaan dengan status sosial dan budaya dalam masyarakat itu.
    Ragam bahasa apa yang paling wajar kita gunakan dalam situasi sosiolinguistik dan budaya tertentu.
    Kapan dan bagaimana kita menggunakan giliran berbicara kita, dan menyela pembicaraan orang lain.
    Kapan kita harus diam .
    Bagaimana kualitas suara dan sikap fisik kita di dalam berbicara.
   
Seseorang baru dapat disebut pandai berbahasa kalau dia menguasai tata cara atau etika berbahasa itu. Kajian mengenai etika berbahasa ini lazim disebut etnografi berbahasa.

Menurut Kridalaksana (1982:14) dalam bahasa Indonesia ada 9 jenis kata untuk menyapa seseorang, yaitu (1) kata ganti orang, yakni engkau dan kamu; (2) nama diri, seperti Dika dan Nita; (3) istilah perkerabatan, seperti bapak, ibu, kakak dan adik; (4) gelar dan pangkat, seperti dokter, profesor, letnan, dan kolonel; (5) bentuk nomina pelaku (pe+verba), seperti penonton, pendengar, dan peminat; (6) bentuk nomina + ku, seperti Tuhanku, bangsaku, dan anakku; (7) kata-kata deiktis, seperti sini, situ, atau di situ; (8) bentuk nomina lain, seperti awak, bung, dan tuan; dan (9) bentuk zero, seperti tanpa kata-kata. Aspek sosial budaya yang harus dipertimbangkan untuk menggunakan kata sapaan itu adalah yang disapa itu lebih tua, sederajat, lebih muda, atau kanak-kanak; status sosialnya lebih tinggi, sama, atau lebih rendah; situasinya formal atau tidak formal, akrab atau tidak akrab; wanita atau pria; sudah dikenal atau belum dikenal; dan sebagainya.

Gerak-gerik fisik dalam etika bertutur menyangkut dua hal yakni yang disebut kinesik dan proksimik. Yang dimaksud dengan kinesik adalah, antara lain, gerakan mata, perubahan ekspresi wajah, perubahan posisi kaki, gerakan tangan bahu, kepala, dan sebagainya.     Yang dimaksud dengan proksimik adalah jarak tubuh di dalam berkomunikasi atau bercakap-cakap.

Secara terpisah, kinesik dan proksimik merupakan alat komunikasi juga yaitu alat komunikasi nonverbal, atau alat komunikasi nonlinguistic, yang biasa dibedakan dengan alat komunikasi verbal atau alat komunikasi linguistik. 










   














Oleh : Kelompok X
Ketua     : Rahmawati (A1D111028)
Anggota : Sarmin (A1D111036)    
  Hamila (A1D111022)
  Citra Saldayanti (A1D111040)
  Waode Ainun

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS HALUOLEO
KENDARI
2012/2013

Tugas Belajar dan Pembelajaran

ASPEK PEDAGOGIK
Pedagogik merupakan kajian pendidikan. Secara etimologi berasal dari kata Yunani “paedos”, yang berarti anak laki-laki dan “agogos” artinya mengantar, membimbing. Jadi pedagogik secara harfiah berarti pembantu anak laki-laki pada jaman Yunani kuno, yang pekerjaannya mengantarkan anak majikannya ke sekolah. Kemudian secara kiasan, pedagogik ialah seorang ahli, yang membimbing anak ke arah tujuan hidup tertentu. Menurut Prof. Dr. J. Hoogveld (Belanda) pedagogik adalah ilmu yang mempelajari masalah membimbing anak ke arah tujuan tertentu, yaitu supaya kelak ia “mampu secara mandiri menyelesaikan tugas hidupnya”. Jadi pedagogik adalah Ilmu Pendidikan Anak Langveld (1980) membedakan istilah “pedagogik” dengan istilah “pedagogi”. Pedagogik diartikan dengan ilmu pendidikan, lebih menitik beratkan kepada pemikiran, perenungan tentang pendidikan. Suatu pemikiran bagaimana kita membimbing anak , mendidik anak. Sedangkan istilah pedagogi berarti pendidikan, yang lebih menekankan kepada praktek, menyangkut kegiatan mendidik, kegiatan membimbing anak. Pedagogik merupakan suatu teori yang secara teliti, kritis dan objektif mengembangkan konsep-konsepnya mengenai hakekat manusia, hakekat anak, hakekat tujuan pendidikan serta hakekat proses pendidikan
Dalam arti khusus, Langeveld mengemukakan bahwa pendidikan adalah bimbingan yang diberikan oleh orang dewasa kepada anak yang belum dewasa untuk mencapai kedewasaannya. Ahmadi dan Uhbiyati (1991) mengemukakan beberapa definisi pendidikan sebagai berikut :
a. Menurut Prof. Hoogeveld, mendidik adalah membantu anak supaya anak itu kelak cakap menyelesaikan tugas hidupnya atas tanggung jawab sendiri.
b. Menurut Prof. S. Brojonegoro, mendidik berarti memberi tuntutan kepada manusia yang belum dewasa dalam pertumbuhan dan perkembangan, sampai tercapainya kedewasaan dalam arti rohani dan jasmani.
Pedagogik
c. Menurut Ki Hajar Dewantara, mendidik adalah menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya.
Jadi pendidikan dalam arti khusus hanya dibatasi sebagai usaha orang dewasa dalam membimbing anak yang belum dewasa untuk mencapai kedewasaannya. Setelah anak menjadi dewasa dengan segala cirinya, maka pendidikan dianggap selesai. Pendidikan dalam arti khusus ini menggambarkan upaya pendidikan yang terpusat dalam lingkungan keluarga, dalam arti tanggung jawab keluarga. Hal tersebut lebih jelas dikemukakan oleh Drijarkara (Ahmadi, Uhbiyati, 1991) bahwa:
a. Pendidikan adalah hidup bersama dalam kesatuan tritunggal ayah – ibu – anak, dimana terjadi pemanusiaan anak. Dia berproses untuk memanusiakan sendiri sebagai manusia purnawan.
b. Pendidikan adalah hidup bersama dalam kesatuan tritunggal ayah – ibu – anak, dimana terjadi pembudayaan anak. Dia berproses untuk akhirnya membudaya sendiri sebagai manusia purnawan
c. Pendidikan adalah hidup bersama dalam kesatuan tritunggal ayah – ibu – anak, dimana terjadi pelaksanaan nilai-nilai, dengan mana dia berproses untuk akhirnya bisa melaksanakan sendiri sebagai manusia purnawan.
Menurut Drijarkara, pendidikan secara prinsip adalah berlangsung dalam lingkungan keluarga. Pendidikan merupakan tanggung jawab orang tua, yaitu ayah dan ibu yang merupakan figur sentral dalam pendidikan. Ayah dan Ibu bertanggung jawab untuk membantu memanusiakan, membudayakan, dan menanamkan nilai-nilai terhadap anak-anaknya. Bimbingan dan bantuan ayah dan ibu tersebut akan berakhir apabila sang anak menjadi dewasa, menjadi manusia sempurna atau manusia purnawan (dewasa).

          Dari uraian diatas, pedagogik pembahasannya terbatas pada anak, jadi yang menjadi objek kajian pedagogik adalah pergaulan pendidikan antara orang dewasa dengan anak yang belum dewasa, menurut Langeveld disebut “situasi pendidikan”. Jadi proses pendidikan menurut pedagogik berlangsung sejak anak lahir sampai anak mencapai dewasa (pengertian dewasa akan dijelaskan pada bagian pembahasan tujuan pendidikan). Pendidik dalam hal ini bisa orang tua dan/atau guru yang fungsinya sebagai pengganti orang tua, membimbing anak yang belum dewasa mengantarkannya untuk dapat hidup mandiri, agar anak dapat menjadi dirinya sendiri

Pengertian Pedagogik

                                                    ASPEK PEDAGOGIK
Pedagogik merupakan kajian pendidikan. Secara etimologi berasal dari kata Yunani “paedos”, yang berarti anak laki-laki dan “agogos” artinya mengantar, membimbing. Jadi pedagogik secara harfiah berarti pembantu anak laki-laki pada jaman Yunani kuno, yang pekerjaannya mengantarkan anak majikannya ke sekolah. Kemudian secara kiasan, pedagogik ialah seorang ahli, yang membimbing anak ke arah tujuan hidup tertentu. Menurut Prof. Dr. J. Hoogveld (Belanda) pedagogik adalah ilmu yang mempelajari masalah membimbing anak ke arah tujuan tertentu, yaitu supaya kelak ia “mampu secara mandiri menyelesaikan tugas hidupnya”. Jadi pedagogik adalah Ilmu Pendidikan Anak Langveld (1980) membedakan istilah “pedagogik” dengan istilah “pedagogi”. Pedagogik diartikan dengan ilmu pendidikan, lebih menitik beratkan kepada pemikiran, perenungan tentang pendidikan. Suatu pemikiran bagaimana kita membimbing anak , mendidik anak. Sedangkan istilah pedagogi berarti pendidikan, yang lebih menekankan kepada praktek, menyangkut kegiatan mendidik, kegiatan membimbing anak. Pedagogik merupakan suatu teori yang secara teliti, kritis dan objektif mengembangkan konsep-konsepnya mengenai hakekat manusia, hakekat anak, hakekat tujuan pendidikan serta hakekat proses pendidikan
Dalam arti khusus, Langeveld mengemukakan bahwa pendidikan adalah bimbingan yang diberikan oleh orang dewasa kepada anak yang belum dewasa untuk mencapai kedewasaannya. Ahmadi dan Uhbiyati (1991) mengemukakan beberapa definisi pendidikan sebagai berikut :
a. Menurut Prof. Hoogeveld, mendidik adalah membantu anak supaya anak itu kelak cakap menyelesaikan tugas hidupnya atas tanggung jawab sendiri.
b. Menurut Prof. S. Brojonegoro, mendidik berarti memberi tuntutan kepada manusia yang belum dewasa dalam pertumbuhan dan perkembangan, sampai tercapainya kedewasaan dalam arti rohani dan jasmani.
Pedagogik
c. Menurut Ki Hajar Dewantara, mendidik adalah menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya.
Jadi pendidikan dalam arti khusus hanya dibatasi sebagai usaha orang dewasa dalam membimbing anak yang belum dewasa untuk mencapai kedewasaannya. Setelah anak menjadi dewasa dengan segala cirinya, maka pendidikan dianggap selesai. Pendidikan dalam arti khusus ini menggambarkan upaya pendidikan yang terpusat dalam lingkungan keluarga, dalam arti tanggung jawab keluarga. Hal tersebut lebih jelas dikemukakan oleh Drijarkara (Ahmadi, Uhbiyati, 1991) bahwa:
a. Pendidikan adalah hidup bersama dalam kesatuan tritunggal ayah – ibu – anak, dimana terjadi pemanusiaan anak. Dia berproses untuk memanusiakan sendiri sebagai manusia purnawan.
b. Pendidikan adalah hidup bersama dalam kesatuan tritunggal ayah – ibu – anak, dimana terjadi pembudayaan anak. Dia berproses untuk akhirnya membudaya sendiri sebagai manusia purnawan
c. Pendidikan adalah hidup bersama dalam kesatuan tritunggal ayah – ibu – anak, dimana terjadi pelaksanaan nilai-nilai, dengan mana dia berproses untuk akhirnya bisa melaksanakan sendiri sebagai manusia purnawan.
Menurut Drijarkara, pendidikan secara prinsip adalah berlangsung dalam lingkungan keluarga. Pendidikan merupakan tanggung jawab orang tua, yaitu ayah dan ibu yang merupakan figur sentral dalam pendidikan. Ayah dan Ibu bertanggung jawab untuk membantu memanusiakan, membudayakan, dan menanamkan nilai-nilai terhadap anak-anaknya. Bimbingan dan bantuan ayah dan ibu tersebut akan berakhir apabila sang anak menjadi dewasa, menjadi manusia sempurna atau manusia purnawan (dewasa).

          Dari uraian diatas, pedagogik pembahasannya terbatas pada anak, jadi yang menjadi objek kajian pedagogik adalah pergaulan pendidikan antara orang dewasa dengan anak yang belum dewasa, menurut Langeveld disebut “situasi pendidikan”. Jadi proses pendidikan menurut pedagogik berlangsung sejak anak lahir sampai anak mencapai dewasa (pengertian dewasa akan dijelaskan pada bagian pembahasan tujuan pendidikan). Pendidik dalam hal ini bisa orang tua dan/atau guru yang fungsinya sebagai pengganti orang tua, membimbing anak yang belum dewasa mengantarkannya untuk dapat hidup mandiri, agar anak dapat menjadi dirinya sendiri

Kamis, 24 Oktober 2013

Taman Kota Kendari

    Taman Kantor Walikota Kendari yang berada ditengah-tengah kota Kendari tepatnya di Kecamatan Mandonga merupakan salah satu tempat kunjungan andalan anak-anak remaja Kendari  dikarenakan tempatnya yang nyaman, indah dan bersih. Selain itu, lokasinya juga sangat strategis serta jalurnya pun dilalui oleh angkutan kota, sehingga bagi mereka yang tidak mempunyai kendaraan pribadi bisa dengan mudah menjangkau tempat ini. Tempat ini bukan hanya menjadi tempat tongkrongan anak-anak remaja saja karena tak jarang ada ibu-ibu dan bapak–bapak yang memilih tempat ini sekedar untuk menghilangkan rasa bosan dan penat di hati mereka setelah seharian beraktivitas.


 
   Kawasan yang telah lazim disebut dengan nama “tamkot” ini akan dikunjungi banyak pengunjung pada sore hari terlebih lagi pada malam hari. Pada sore hari selain banyak kaum remaja yang sekedar datang untuk jalan-jalan sore, tempat ini terkadang juga diramaikan oleh orang-orang yang hendak berolahraga karena disekitaran areanya yang begitu luas terdapat jalur-jalur yang telah disediakan untuk bersepeda ria serta joging. Selain itu di tamkot ini juga disediakan beberapa fasilitas permainan anak-anak, sehingga bagi orang tua yang hendak berolahraga bisa sekaligus membawa buah hatinya untuk bermain di tempat ini bahkan tak sedikit para ibu yang hanya sengaja datang membawa putra-putri kesayangan mereka untuk bermain di tempat ini, apalagi untuk menggunakan fasilitas-fasilitas tersebut tentunya tidak perlu mengeluarkan uang sepeser pun alias gratis.
  

 
    Tamkot juga menjadi pilihan yang pas bagi mahasiswa-mahasiswa atau pun pelajar yang ingin mengadakan kegiatan belajar kelompok, karena didukung oleh tempatnya yang begitu nyaman sehingga sangat tepat apabila kegiatan belajar kelompok dilakukan ditengah-tengah hawa sejuk yang dihasilkan dari pepohonan yang tumbuh dengan rindang di sekitaran tempat ini, tentunya kesejukan itu juga akan membantu meningkatkan kemampuan berpikir mereka yang tengah melakukan kegiatan belajar kelompok, minimal membantu menciptakan ide-ide kretif dan inovatif. Terlebih di taman kota ini dilengkapi dengan jaringan WI-FI / Hotspot , Free pula, sehingga kita dapat mengakses internet yang dapat membantu kita menyelesaikan tugas kuliah atau sekolah, dengan hanya bermodalkan membawa laptop/notebook saja maka kita sudah dapat berselancar di dunia maya sepuas hati. 


    Disamping itu semua, di taman kota juga terdapat kantin kecil sehingga mereka-mereka yang memilih tempat ini untuk sekedar jalan-jalan, kumpul bersama teman-teman, belajar kelompok , dan berolahraga bisa langsung mengobati rasa lapar dan dahaga di tempat itu juga tanpa harus keluar area taman. Di kantin kecil ini, disediakan berbagai pilihan makanan dan minuman serta beberapa jenis cemilan, yang harganya murah meriah sangat sesuai dengan isi dompet para remaja.  

Meskipun setiap hari taman kota ini ramaii dikunjungi, namun kebersihan di area taman sangat terjaga karena di pojok-pojok taman ini juga disediakan beberapa tempat pembuangan sampah sehingga para pengunjung tidak akan membuang sampah disembarang tempat. Kecuali i pengunjung yang tidak memilikii kesadaran akan pentingnya kebersihan. Tetapii kalaupun masih ada pengunjung-pengunjung yang membuang sampah disembarang tempat, lingkungan tamkot akan tetap bersih karena selain memiliki beberapa bak pembuangan sampah , tamkot juga memiliki petugas kebersihan yang dipekerjakan oleh pemerintah. Hal itu dilakukan agar istilah “taman kota” bukan hanya sekedar istilah semata tetapi memiliki makna yang sesuai dengan istilah tersebut . karena kita ketahui bersama hal yang pertama kali akan muncul dibenak orang-orang ketika menyebut kata “taman” sudah pasti adalah areanya yang bersih, sejuk, dan asri. Selain itu dengan dipekerjakannya beberapa petugas kebersihan di lingkungan taman kota tentunya juga akan meminimalisir pengangguran yang ada di kota Kendari .

Sekian dari kami, Trims. . .
Anggota kelompok III
Urutan nama dari ujung sebelah Kanan ke Kiri
1.    Abdu Rahman. J.     A1D1 11 029
2.    Setyo Bagus P.    A1D1 11 033
3.    Muh. Rizal         A1D1 11 030
4.    Reni Justianingsih    A1D1 11 027
5.    Elviana            A1D1 11 031
6.    Rahmawati         A1D1 11 028
7.    Sahwati            A1D1 11 020
8.    Jecklyn Chahyadi    A1D1 11 026
9.    Deswal Yamin     A1D1 11 025




Artikel #

                                 Sekilas Wajah pendidikan di Indonesia #

       Berbagai pendapat tentang makna Pendidikan, tak sedikit ahli yang ikut aktif menyumbangkan pemikiran-pemikiran tentang pendidikan, khususnya di Indonesia salah satunya Prof. H. Mahmud Yunus, menurut Beliau pendidikan adalah usaha-usaha yang sengaja dipilih untuk mempengaruhi dan membantu anak dengan tujuan peningkatan keilmuan, jasmani dan akhlak sehingga secara bertahap dapat mengantarkan si anak pada tujuannya yang paling tinggi agar si anak hidup bahagia serta seluruh apa yang dilakukannya menjadi bermanfaat bagi dirinya dan masyarakat. Pendidikan sudah menjadi sesuatu yang sakral untuk dijalani oleh setiap warga negara Indonesia demi meningkatkan sumber daya menusia, maka tak heran jika di Indonesia dikenal adanya program belajar 9 tahun. Namun, di era globalisasi saat ini beajar di pendidikan formal selama 9 tahun saja sudah tidak cukup dikarenakan persaingan kehidupan yang semakin keras. Setelah tamat di jenjang pendidikan Sekolah Menengah Pertama, anak dituntut untuk melanjutkan sekolahnya dijenjang pendidikan yang lebih tinggi yakni Sekolah Menengah Pertama dimana masa pendidikannya seyogiyanya berjangka waktu 3 tahun. Setelah mendapatkan ijazah SMA, hal ini belum bisa membantu untuk memudahkan seseorang memperoleh pekerjaan yang layak. Oleh sebab itu, banyak orang yang memilih melanjutkan pendidikannya di perguruan tinggi. Dengan demikian mereka sudah mampu memdapatkan pekerjaan minimal menjadi seorang Pegawai Negri Sipil.

     Pendidikan bagi kehidupan manusia merupakan kebutuhan mutlak yang harus dipenuhi. Tanpa pendidikan mustahil suatu kelompok manusia dapat hidup berkembang sejalan dengan aspirasi atau cita-cita untu maju, sejahtera, dan bahagia. Namun sayangnya, kualitas pendidikan di Indonesia masih sangat rendah hal ini tergambar jelas di daerah-daerah pedesaan pada khususnya. Faktor pentebab dari rendahnya kualitas pendidikan di daerah-daerah pelosok yakni kurangnya tenaga kerja pendidik serta minimnya sarana dan prasarana sekolah seperti fasilat-fasilitas belajar yang sangat kurang serta bangunan sekolah yang sudah rapuh dan tak layak huni, bahkan sangat banyak sekolah-sekolah di pedesaan yang status kepemilikannya belum  diakui. Fakta pendidikan yang seperti ini berbeda dengan sekolah-sekolah yang bertempat ditengah-tengah perkotaan, padahal anak-anak yang mengecap pendidikan di daerah pedesaan dan daerah perkotaan sesungguhnya memiliki hak yang sama untuk menikmati pendidikan formal yang layak sebagaimana mestinya. Anak-anak di pedesaan juga sebagian dari penerus bangsa yang mempunyai kedudukan dan hak yang sama dalam ikut andil membangun bangsa, walau dalam kesempatan belajar yang berbeda dengan anak-anak di perkotaaan.

     Sungguh ironis fenomena pendidikan yang terjadi saat ini. anak-anak sekolahan yang yang bersekolah di daerah-daerah pelosok tak jarang harus menempuh rintangan yang begitu banyak untuk tiba di sekolah. Terkadang mereka harus melewati sungai-sungai yang membentang di tengah perjalanan menuju sekolah mereka, bahkan ada juga yang yang rela berjalan di atas kerikil-kerikil tajam tanpa alas kaki, semua itu meraka lakukan dengan riang gembira tanpa mengeluh sedikitpun demi bertemu dengan guru-guru mereka dan belajar bersama teman-teman di gedung-gedung sekolah yang mungkin tak lagi layak untuk dihuni. Lalu apa kabarnya dengan mereka yang bersekolah diperkotaan? Sungguh jauh berbeda, sebagian dari mereka dapat menempuh sekolah mereka dengan menggunakan kendaraan pribadi pemberian orang tua mereka, atau mengendarai angkutan kota yang sudah tersedia. Tetapi, hal tersebut terkadang tidak dimanfaatkan dengan baik oleh segelintir pelajar di perkotaan. Terkadang mereka tidak sampai ke sekolah mereka untuk bersekolah, mereka justru pergi ke tempat-tempat nongkrong pada jam-jam sekolah, berkumpul bersama teman-teman, befoya-foya dengan uang jajan yang diberiakan orang tua. Hal ini membuktikan bahwa anak-anak yang bersekolah di daerah-daerah pelosok lebih memiliki semangat serta antusias yang lebih berapi-api untuk menuntut ilmu demi mencapai cita-cita mulia mereka, dibandingkan dengan anak-anak yang bersekoalh di perkotaan.

      Kenyataan pendidikan yang demikian, pantasnya menjadi perhatian pemerintah agar tak ada lagi dinding-dinding perbedaan antara pelajar-pelajar pedesaan dan perkotaan. Karena tak jarang banyak oang yang memandang sebelah mata anak-anak yang bersekolah di pedesaan . Pemerintah saat ini baiknya lebih memusatkan perhariannya pada sekolah-sekolah yang berada di daerah-daerah pelosok atau pedesaan agar dapat membantu meminimalisasi keterbtasan-keterbatasan pendidikan di daerah-daerah pedesaan. Hal ini dilakukan demi mensejahtrahkan dan mencerdaskan kehidupan bangsa tanpa memandang status sosial masyarakat dan meningkatkatkan mutu pendidiakan di Indonesia secara menyeluruh, sehingga pendidikan di Indonesia tidak lagi terkenal dengan kebobrokannya.

Senin, 21 Oktober 2013

Sepenggal Kisah Liburan di Kampung Halaman #

               Sepenggal Kisah Liburan di Kampung  Halaman

    Liburan adalah saat-saat yang paling dinanti oleh semua orang yang memiliki kesibukan-kesibukan tertentu misalnya para pekerja kantoran, anak sekolahan, mahasiswa dan lain sebagainya karena dengan liburan mereka dapat mengistrahatkan diri dari kesibukan mereka meski hanya beberapa hari, serta mereka juga dapat meluangkan waktunya untuk berkumpul bersama keluarga karena bukan tidak mungkin jika dihari-hari biasanya mereka sangat jarang untuk bercengkrama dengan keluarga tercinta dan saat-saat seperti itu tentunya adalah saat-saat yang paling membahagiakan bagi banyak orang sehingga sesuatu yang disebut dengan liburan itu adalah sesuatu yang sangat dinanti oleh banyak orang bahkan mungkin oleh semua orang tak terkecuali oleh saya sendiri.
Saya adalah seorang mahasiswi yang sedang mengecap dunia pendidikan di Universitas Halu Oleo semester 5 dan tentunya saya hanyalah seorang mahasiswi biasa yang terkadang bosan dengan aktivitas-aktivitas akademik terlebih lagi jika tugas-tugas kampus mulai menumpuk setinggi gunung olehnya itu saya sangat senang dengan istilah ‘liburan” dan saya yakin istilah itu juga disenangi oleh mahasiswa-mahasiswi lainnya. Saya bersyukur karena kampus saya berada sangat jauh dengan kampung halaman saya, sehingga pada saat liburan saya bisa merasakan keseruan dari tradisi pulang kampung bersama teman-teman seperjuangan dalam hal ini sama-sama berjuang menimba ilmu di kota orang demi mencapai cita-cita dan membahagiakan orang tua. 


   Sewaktu liburan idhul adha kemarin, tak ada pilihan lain untuk menjadi tempat liburan selain kampung halaman saya sendiri yaitu Konawe Utara tercinta tepatnya di Kecamatan Lasolo. Liburan kali itu saya memilih untuk mudik bersama teman-teman dengan mengendarai motor. Perjalanan Kendari-Konut yang seyogianya ditempuh dalam waktu 2 jam, kami tempuh dalam waktu 3 jam karena kami sangat menikmati perjalanan kami bahkan tak jarang kami singgah hanya untuk sekedar foto-foto ditengah perjalanan tentunya untuk mendokumentasikan moment-moment indah ini, moment dimana kami menyatu dengan keindahan alam maka sangat rugi jika kami tidak mengabadikannya.


     Pagi pertama saya di kampung halaman tercinta terasa sangat jauh berbeda dengan pagi-pagi saya di Kendari. Saat di Kendari ketika bangun pagi saya sudah disambut dengan pekerjaan-pekerjaan rumah plus cucian-cucian yang seolah menjerit meminta untuk segera dibereskan. Berbeda saat di kampung halaman ketika bangun pagi, sarapan buatan mama tersayang  sudah siap sedia di meja makan, ketika menghirup udara pagi di depan rumah udaranya terasa begitu segar, ditambah dengan suara merdu kicauan burung menbuat suasana pagiku menjadi sangat istimewa. Kebahagian ketika berada di kampung halaman saat itu lebih terasa lagi usai Shalat Idhu Adha, karena saat itu kami sekeluarga berkumpul di rumah nenek untuk bersilaturahmi hal itu sudah menjadi tradisi dikeluarga saya. Bagi saya bercengkrama bersama sanak saudara saya adalah satu hal yang membahagiakan. Namun sayang sekali kebahagian berkumpul bersama keluarga tidak dapat saya nikmati dalam waktu yang lama bahkan sepekan pun tak cukup, karena sehari setelah Idhul Adha saya sudah harus balik ke Kendari. Kadang saya berpikir andaikan kebahagian bisa dipaketkan mungkin kebahagian saat di kampung halaman sudah saya paketkan ke dalam dos kemudian ikut dibawa ke Kendari agar saat saya rindu dengan saat-saat itu saya cukup membuka paket itu untuk mengobati rasa rinduku hehehehehe..... Sekian.

Selasa, 08 Oktober 2013

Berita #

                                  Kegiatan Organisasi Laskar Sastra UHO
                    Menjadi Bukti Kecintaan Terhadap Kreasi Seni dan Budaya #

    Baru-baru ini salah satu organisasi intra kampus, yakni Laskar Sastra yang berada di bawah naungan Kampus Universitas Halu Oleo mengadakan kegiatan pentas seni dengan mengangkat tema “Menghidupkan Kembali Solidaritas Mahasiswa Melalui Kreasi Seni dan Budaya”. Kegiatan ini dilaksanakan tepatnya pada tanggal 12 September 2013 bertempat di gedung rektorat Universitas Halu Oleo. Kegiatan ini disaksikan oleh mahasiswa dari seluruh fakultas-fakultas yang berada di Universitas Halu Oleo. Dengan hanya merogok kocek  senilai Rp10.0000,- para mahasiswa sudah mampu mendapatkan satu buah tiket masuk dan dari uang tersebut para peserta yang ikut berpartisipasi meramaikan kegiatan tersebut akan diberikan sebuah sertifikat. 

     Kegiatan ini mampu memikat perhatian para penontonnya yang kurang lebih berjumlah 500 orang, melalui karya-karya seni yang dipentaskan seperti pembacaan puisi, musikalisasi puisi, tarian, serta teatrikal yang diperankan oleh anak-anak Laskar sastra atau yang biasa dikenal dengan sebutan Lastra. Mahasiswa-mahasiswi yang ikut berperan dalam pementasan tersebut tentunya bukannlah mahasiswa-mahasiswi biasa tetapi meraka sudah mampu dikategorikan sebagai mahasiswa-mahasiswi luar biasa, karena selain aktif pada dunia akademik kampus mereka juga mampu turut aktif dalam organisasi-organisasi yang mampu meningkatkan nama baik kampus mereka. Sebut saja Muhammad Rauf Alimin, salah satu peserta pembacaan puisi yang sedang menimbah ilmu di universitas Halu Oleo, Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia semester 3, Dia mampu menarik perhatian para audiens yang menyaksikan kelihaiannya dalam membacakan puisi-puisi pilihannya, bahkan bukan hanya para mahasiswa-mahasiswi yang terkesima dengan penampilan luar biasanya, tetapi juga salah satu penyair terhebat di Sulawesi Tenggara yakni Bapak Saifudin Gani yang sempat hadir pada hari itu ikut memberikan aplous diakhir penampilan Rauf. 

     Kegiatan yang diselenggarakan oleh anak-anak  Laskar Sastra ini, selain menampilkan beberapa karya seni mereka juga berinisiatif untuk mengundang salah satu Dosen Psikologi dari Universitas Halu Oleo untuk membawakan sebuah materi yang berkaitan dengan tema kegiatan ini. Alhasil inisiatif mereka membuahkan hasil yang luar biasa, terbukti dari antusias para audiens yang memberikan pertanyaan-pertanyaan pada pemateri sehingga tercipta sebuah suasana diskusi yang harmonis. Kegiatan ini pada akhirnya dapat menimbulkan rasa cinta mahasiswa-mahasiswi terhadap kreasi seni dan budaya Indonesia, serta mampu menanamkan kesadaran dalam jiwa-jiwa generasi muda akan pentingnya memelihara budaya yang mereka miliki. Hal tersebut menandakan  bahwa target dari dilaksanakannya kegiatan ini dapat dicapai dengan sempurna.

Senin, 07 Oktober 2013

ASPEK NILAI DALAM NOVEL SUSTER RAHMA KARYA NENGAH NEGARA #

NAMA        : RAHMAWATI
STANBUK    : A1D1 11 028
KELAS        : B




INDRA RAHMAN
A1D1 05 001

Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

ASPEK NILAI DALAM NOVEL SUSTER RAHMA KARYA NENGAH NEGARA

Dosen Pembimbing  : 1. Dr. La Niampe, M.Hum.
2. Irianto Ibrahim, S.Pd., M.Pd.

Tahun Skripsi : 2010



ASPEK NILAI DALAM NOVEL SUSTER RAHMA
KARYA NENGAH NEGARA
Oleh : Rahmawati
ABSTRAK
Penelitian ini berjudul “Aspek Nilai dalam Novel Suster Rahma Karya Nengah Negara”. Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk mendeskripsikan aspek nilai dalam novel Suster Rahma.
Penelitian ini adalah penelitian kepustakaan, dengan menggunakan metode deskriptif kualitatif. Data dalam penelitian ini adalah novel Suster Rahma karya Nengah Negara, Samita Utama, Jogjakarta, cetakan pertama, Juni 2001. Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik baca dan cata. Analisis data dalam penelitian ini menggunakan pendekatan sosiologis.
Berdasarkan hasil analisis, dapat disimpulkan bahwa aspek nilai yang terdapat dalam novel Suster Rahma karya Nengah Negara adalah (1) aspek nilai yang berhubungan dengan nilai budaya. Nilai budaya tampak pada budaya masyarakat yang lebih cenderung mengarah pada kebiasaan, adat istiadat masyarakat yang lebih mengutamakan obat tradisional serta orang tua atau orang pintar ketika mereka sakit. Serta budaya juga tampak pada masyarakat khususnya dalam bidang mata pencaharian masyarakat yang telah diyakini, (2) aspek nilai yang berkaitan dengan nilai sosial. Hal ini digambarkan bahwa nilai sosial tercermin dalam tokoh Suster Rahma yang ikut berpartisipasi dalam kegiatan masyarakat setempat, (3) aspek nilai berkaitan dengan nilai agama. Hal ini digambarkan oleh keyakinan masyarakat terhadap sesuatu yang bersifat Adikodrati (supranatural) yaitu masyarakat mempercayai keyakinan eluhur atau nenek moyang mereka. Serta nilai agama digambarkan oleh ketulusan seorang Ardin yang telah menolong Suster Rahma sebagai wujud dan tingkah laku yang positif sesuai dengan ajaran agama yang dianut, (4) aspek nilai berkaitan dengan nilai pendidikan. Nilai ini digambarkan oleh tokoh Suster Rahma dan masyarakat yang ikut berpartisipasi daan berkeinginan membangun sekolah untuk kepentingan pendidikan masyarakat sekitarnya.
Kata Kunci : Novel, Nilai


1.    PENDAHULUAN
1.1    Latar Belakang
Sastra merupakan bentuk pengalaman spiritual manusia. Sebuah pengalaman batin untuk merenungi kehidupan masa lalu, masa ini, dan masa yang akan datang, juga untuk mengatur manusia kepada kehidupan yang lebih baik, lebih sempurna dan lebih membahagiakan manusia secara bersama-sama.
Sastra adalah gambaran kehidupan. Namun sebagai gambaran, sastra tidak pernah menjiplak kehidupan (Saini K; 1990:14). Membaca dan memahami sebuah karya astra berarti membaca dan memahami sebuah fenomena kehidupan yang coba diungkapkan pengarang melalui karya yang tercipta dari hasil perenungan dan pengalaman kemudian digabung dalam sebuah imajinasi. Salah satu karya yang termasuk dalam kategori ini adalah novel.
Novel sebagai suatu wujud nyata dari ekspresi imajinatif seorang pengarang. Dalam hal ini pengarang sebagai manusia biasa yang keberadaannya tidak akan terlepas dari sebuah masyarakat. Oleh karena itu, di dalam novel akan tercermin sebuah kehidupan hasil rekaan pengarng terhadap kehidupan ini. Dalam mencurahkan rekaannya pengarang tidak hanya mengangkat begitu saja kehidupan, tetapi didalamnya sarat akan renungan-renungan yang mendalam tentang kemanusian. Renungan-renungan itu dapat berupa tanggapan seorang pengarang terhadap tata kehidupan pada suatu zaman tertentu, dapat juga berupa sebuah penyadaran ide guna menjalani hidup ini.
Novel Suser Rahma karya Nengah Negara adalah novel yang menceritakan tentang seorang suster yang mengabdikan tenaga dan pikirannya untuk masyarakat yang tinggal di pulau-pulau terpencil. Novel ini juga menceritakan sebuah kehidupan yang mempunyai bentuk nilai budaya dan daerah yang masih utuh. Ini dibuktikan dengan adanya nilai-nilai kepercayaan yang masih kuat dalam masyarakat.
Salah satu aspek sastra yang menarik untuk dikaji dalam novel ini adalah aspek sosiologis, dalam hal ini masyarakat. Novel Suster Rahma memenuhi unsur tersebut untuk dikaji. Dalam hal ini, penelitian akan diarahkan pada aspek nilai. Aspek nilai yang dimaksudkan disini adalah nilai-nilai yang berhubungan dengan ciri-ciri dan bentuk kebudayaan dari aspek sosiologis itu sendiri. Aspek nilai meliputi: nilai budaya, nilai sosial, nilai agama, dan nilai pendidikan.
1.2    Kajian Teori
1.2.1    Pengertian Novel
Semi (1993:32) menyatakan bahwa novel sebagai karya sastra yang mengungkapkanaspek-aspek kemanusian yang lebih mendalam dan disajikan dengan halus. Sejalan dengan itu GF Knicker Bocker Renigner (dalam Hoed, 1992:6) mendefinisikan novel sebagai karta kreatif, yakni menyajikan bukan kenyataan yang ada dalam dunia ini, tetapi perlambangan dari dunia itu.
Dalam arti luas novel adalah cerita berbentuk prosa dalam ukuran yang luas. Ukuran yang luas disini dapat berarti cerita dengan plot (alur) yang kompleks, karakter yang banyak, tema yang kompleks, suasana cerita yang beragam, dan setting cerita yang beragam pula. Namun “ukuran luas” disini juga tidak mutlak demikian, mungkin yang luas hanya salah satu unsur fisiknya saja. Misalnya temanya, sedang karakter, setting, dan lain-lainnya hanya satu saja.
Abdullah (dalam Prihastini, 1990:17) menyatakan bahwa novel dan roman berbeda dari segi struktur. Alur novel ketat sehingga tidak mungkin berkembang dan jalan cerita lebih langsung menjurus pada penyelesaian masalah yang menyangkut tokoh utama. Cerita tidak mungkin menyimpang pada masalah lain. Sebaliknya roman memiliki alur longgar sehingga kemungkinan percabangan cerita dan mengakibatkan gerak cerita lain.
Meskipun demikian, ada juga ahli yang menyamakan novel dan roman. Semi (1992:32) menyatakan bahwa pengertian novel dan roman itu sama saja, yang membedakan adalah masalah istilah. Istilah roman dikenalsebelum perang dunia kedua yang dikenal melalui bahasa Belanda dan setelah perang dunia kedua karya sastra dalam bahasa inggris banyak dipelajari oleh sastrawan Indonesia. Istilah roman dalam bahasa inggris adalah novel. Yang jelas kedua karya tersebut adalah karya sastra.
1.2.2    Unsur-Unsur Intrinsik Novel
Unsur intrinsik adalah unsur-unsur yang membangun karya sastra. Unsur intrinsik yang dimaksud meliputi :
•    Tema yaitu pokok permasalahan sebuah cerita yang terus-menerus dibicarakan sepanjang cerita (Surana, 2002:5)
•    Penokohan yaitu pelukisab gambaran yang jelas tentang seseorang yang ditampilkan dalam sebuah cerita (Jones dalam Nurgiantoro, 2000:165).
•    Alur. Menurut Surana (2002:54) di dalam sebuah cerita rekaan berbagai peristiwa disajikan dengan urutan tertentu. Peristiwa yang diurutkan itu membangun tulang punggung cerita yaitu alur.
•    Latar. Menurut Sudjiman (1986-64) secara sederhana dapat dikatakan bahwa segara keterangan, petunjuk, pengacuan yang berkaitan dengan waktu, ruang, dan suasana terjadinya peristiwa dalam suatu karya sastra membangun latar cerita.
•    Konflik. Menurut Stanto (1956:16) bentuk konflik, sebagai bentuk kejadian, dapat dibedakan ke dalam dua kategori, yaitu (1) konflik eksternal yaitu konflik antara seorang tokoh dengan sesuatu yang diluar dirinya, (2) konflik internal yaitu konflik yang terjadi dalam hati, jiwa seorang tokoh cerita. Kedua konflik tersebut saling berkaitan.
•    Sudut pandang. Menurut Lubbock (dalam sudjiman, 1965:75) mengatakan bahwa sudut pandang mengandung arti hubungan diantara tempat pencerita berdiri dan ceritanya.
1.2.3    Unsur Ekstrinsik Novel
Unsur ekstrinsik adalah unsur-unsur yang berada di luar karya sastra, namun secara tidak langsung mempengaruhi bangun atau sistem organisme karya sastra atau secara lebih khusus ia dapat dikatakan sebagai unsur-unsur yang mempengaruhi bangun cerita sebuah karya sastra, namun sendiri tidak ikut menjadi bagian didalamnya. Walau demikian unsur ekstrinsik cukup berpengaruh terhadap totalitas bangun cerita yang dihasilkan.
Sebagaimana halnya unsur intrinsik, unsur ekstrinsik juga terdiri dari sejumlah unsur. Unsur-unsur yang dimaksud (Wellek dan Werren, 1956:75-135) antara lain adalah keadaan subjektivitas individu pengarang yang memiliki sikap, keyakinan, dan pandangan hidup yang kesemuanya itu akan mempengaruhi karya yang ditulisnya.
1.2.4    Pengertian Nilai
Sehubungan dengan konsep nilai, Poerwadarminta menjelaskan bahwa nilai adalah kadar isi yang memiliki sifat-sifat atau hal-hal yang penting, yang bergunba bagi kemanusiaan (Yubus, dkk., 1990:104). Nilai adalah ide-ide yang menggambarkan serta membentuk suatu cara dalam sistem masyarakat sosila yang meruakan rantai penghubung secara terus-menerus dari kehidupan generasi dulu.
Sipley (Wahid, 2005: 34-35) mengungkapkan bahwa kritik terhadap sebuah karya sastra berakar pada tuntutan-tuntutan nilai, baik secara eksplisit, maupun secara implisit. Sejalan dengan itu, Suharianto menyatakan bahwa kelahiran karya sastra tidak semata-mata disebabkan oleh pengarang ingin menghibur masyarakat pembacanya, tetapi dengan penuh kesadaran ia ingin menyampaikan nilai-nilai yang agung yang dibutuhkan manusia pada umumnya (Yunus, dkk, 1990: 105).

2.    Metode Penelitian
Penelitian ini tergolong penelitian kepustakaan karena objek kajiannya adalah novel Suster
Rahma karya Nengah Negara. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif kualitatif. Deskriptif maksudnya adalah penggambaran atau panyajian data berdasarkan kenyataan-kenyataan secara objektif mengenai nilai lokalitas yang terdapat dalam novel Suster Rahma karya Nengah Negara.
Penelitian kualitatif, menurut Nasution (Hidayat, 2001:12), pada hakikatnya adalah penelitian yang berusaha mengamati, mamahami dan menafsirkan sesuatu yang menjadi fokus penelitian, dengan tujuan untuk memperoleh pemahaman makna. Penelitian ini mendeskripsikan data yang akan dianalisis berupa nilai lokalitas yang terkandung dalam novel Suster Rahma karya Nengah Negara.
Data-data yang dibutuhkan dalam penelitian dikumpulkan dengan teknik membaca analitik, digunakan dengan caraa membaca buku-buku yang ada kaitannya dengan aspek nilai serta teknik pencatatan yakni teknik yang digunakan dengan mencatat data atau informasi tentang nilai-nilai yang terdapat dalam novel Suster Rahma karya Nengah Negara.
Data penelitian ini kemudian dianalisis berdasarkan pendekatan sosiologis. Peneliti berusaha menganalisis aspek nilai yang terdapat dalam novel Suster Rahma karya Nengah Negara dengan pendekatan sosiologis, sehingga dapat diketahui gambaran nilai-nilai dalam novel tersebut. Secara operasional, teknik analisis data dilakukan untuk menemukan nilai-nilai dalam novel Suster Rahma karya Nengah Negara.

3.    Hasil dan Pembahasan
3.1    Nilai Budaya
Nilai budaya berupa konsepsi hidup dalam alam pikiran warga masyarakat sebagai sesuatu yang amat bernilai dalam kehidupan. Wujudnya dapat berupa adat-istiadat, tata hukum, atau norma-norma yang mengatur langka dan tindak budaya yang adab.
Nilai budaya yang terdpat dalam novel Suster Rahma di tandai dengan kutipan berikut
 “Kepala desa memahami maksud kedatangan Suster Rahma. Tentu karena warganya tidak ada yang datang ke puskesmas. Sebenarnya warga yang sakit ada, tetapi mereka lebih suka menggunakan obat-obat tradisional. Warga disana lebih banyak berobat pada orang tua atau orang pintar. Penggunaan obat modern masih merupakan budaya baru bagi kebudayaan warga. Ada juga yang sudah menggunakan obatobat modern tapi hanya sedikit. (Negara, 2001: 14)
Kutipan diatas tergambar dengan jelas bahwa budaya masyarakat lebih cenderung mengarah kepada kebiasaan, adat-istiadat masyarakat yang lebing menggunakan obat tradisional serta orang tua atau orang pintar.
3.2    Nilai Sosial
Berry, dkk.. (1999) mengemukakan bahwa prilaku sosial dan bagaimana prilaku sosial berhubungan atau dipengaruhi oleh konteks umum budaya dimana prilaku ini mengambil tempat. Aberle dkk (dalam, Berry dkk, 1999) mengajukan seperangkat keharusan fungsional atau segala sesuatu yang dilakukan dalam masyarakat manapun jika hendak terus memelihara kelangsungannya. Tuturan ini terdiri dari keinginan karena mungkin dianggap berkualitas universal, mencakup aktivitas-aktivitas. Hal ini tampak pada kutipan berikut
“Penerimaan suster Rahma sebagai warga setempat telah berlalu. Ia pun aktif mengikuti kegiatan seperti anak-anak muda lainnya. Mandi di pantai dan bermain voly menjadi kegiatan barunya. Dalam waktu yang tidak lama, dia sudah akrab dengan warga setempat, ide-idenya juga mendapat dukungan dari warga setempat” (Negara, 2001: 49)
Penggalan cerita diatas menggambarkan bahwa nilai sosial tercermin dalam tokoh Suster Rahma yang ikut berpartisipasi dalam kegiatan masyarakat setempat.
3.3    nilai agama
agama sebagai bentuk keyakinan manusia terhadap sesuatu yang bersifat Adikodrati ternyata seakan menyertai manusia dalam ruang lingkup kehidupan. Agama memiliki nilai-nilai bagi kehidupan manusia sebagai orang perorang maupun dalam hubungannya dengan kehidupan masyarakat. Selain itu agama juga memberi dampak bagi kehidupan manusia. Hal tersebut tampak pada kutipan berikut :
“keadaan itu tidak diperdulikan oleh warga setempat karena mereka masih bisa membuat rumah mengikuti garis pantai. Bahkan mereka yang keyakinannya telah mendarah daging bahwa asal nenek moyang mereka di pulau tersebut, siap tenggelam bersama tanah kelahirannya. Temgge;am bersama pulau leluhur merupakan kebahagian bagi beberapa tetua mereka, para tetua yakin mereka akan mendapat tempat yang bagus setelah meninggal” (Negara, 2001: 25)
Penggalan cerita ini menggambarkan keyakinan masyarakat terhadap sesuatu yang bersifat Adikodrati yaitu masyarakat mempercayai keyakinan leluhur atau nenek moyang mereka. Masyarakat setempat yakin bahwa asal nenek moyang mereka berada pada pulau tersebut.
3.4    Nilai Pendidikan
Dalam Undang-Undang RI No. 20 Tahun 2003, pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
Makna pendidikan secara sederhana dapat diartikan sebagai usaha manusia untuk membina kepribadian sesuai dengan nilai-nilai di dalam masyarakat dan kebudayaan. Dengan demikian bagaimanapun sederhananya peradaban manusia, didalamnya terjadi atau berlangsung suatu proses pendidikan (Syam, 1981: 2). Hal ini tampak pada kutipan berikut :
“Bapak-Bapak, saudara-Saudara, dan adik-Adik, sekolah yang dirancang adalah sekolah swadaya warga setempat dan untuk kepentingan warga setempat pula. Pembangunan sekolah bisa dilakukan secara gotong-royong. Mengenai tenaga gurunya juga suka rela. Suster Rahma berhenti berbicara” (Negara, 2001: 50)
“Usaha untuk meningkatkan kesejahteraan telah dilakukan dengan mendirikan sekolah dan mengadakan fasilitas lapangan olahraga, terurtama lapangan sepak bola. Anak-anak setempat diharuskan sekolah. Dalam dua tahun mendatang anak-anak yang telah mengenyam pendidikan tersebut diharapkan mampu menyadarkan warga yang lain bahwa mereka adalah warga bangsa, bukan sekedar warga desa” (Negara, 2001: 25)
Penggalan cerita diatas memberikan gambaran bahwa nilai pendidikan tampak pada kepedulian Suster Rahma terhadap suatu proses dan terwujudnya pendidikan dalam masyarakat setempat. Suster Rahma memberiakn keyakinan kepada masyarakat tentang keberadaan sekolah serta pemahaman betapa pentingnya anak-anak bersekolah.








DAAFTAR PUSTAKA

Rahman, Indra. 2010. Skripsi :  Aspek Nilai Dalam Novel Suster Rahama Karya Nengah Negara. Kendari. Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan. UHO.