Senin, 28 Oktober 2013

BAHASA DAN KEBUDAYAAN

BAHASA DAN KEBUDAYAAN

1.1.    Hakikat Kebudayaan
Krober dan Kluckhorn (1952) telah mengumpulkan berpuluh-puluh definisi mengenai kebudayan, dan mengelompokannya menjadi 6 golongan menurut sifat definisi itu yakni:
1.    Definisi yang deskriptif, yakni definisi yang menekankan pada unsur-unsur kebudayaan
2.    Definisi yang historis yakni yang menekankan bahwa  kebudayaan itu diwarisi secara kemasyarakatan
3.    Definisi normatif yakni definisi yang menenkankan hakikat kebudayaan sebagai aturan hidup dan tingkah laku
4.    Definisi yang psikologis, yakni definisi yang menekankan pada kegunaan kebudayaan dalam penyusuaian diri kepada lingkungan, pemecahan permasalahan, dan belajar hidup
5.    Definisi yang struktural, yakni definisi yang menekankan sifat kebudayaan sebagai suatu sistem yang berpola dan teratur
6.    Definisi yang genetik, yakni definisi yang menekankan pada terjadinya kebudayaan sebagai hasil karya manusia.

Pengelompokan definisi –definisi kebudayaan yang dibuat Nababan (1984) menunjukan bahwa kebudayaan kebudayaan itu melingkupi segala aspek dan unsur kehidupan manusia, Nababan mengelompokan definisi kebudayaan atas empat golongan, yaitu:
1.    Definisi yang melihat kebudayaan sebagai pengatur dan pengikat masyarakat
2.    Definisi yang melihat kebudayaan sebagai hal-hal yang diperoleh manusia melalui belajar atau pendidikan (nurture)
3.    Definisi yang melihat kebudayaan sebagai kebiasaan dan perilaku manusia.
4.    Definisi yang melihat kebudayaan sebagai sistem komunikasi yang dipakai masyarakat untuk memperoleh kerjasama, kesatuan, dan kelangsungan hidup masyarakat manusia.

Definisi-definis golongan (4) dari pengelompokkan yang dibuat Nababan secara eksplisit menyatakan bahwa semua sistem komunikasi yang digunakan manusia, tentunya juga bahasa, adalah termasuk dalam kebudayaan. Itulah sebabnya Nababan (1984:49) secara gamblang menyatakan bahwa kebudayaan adalah sistem aturan-aturan komunikasi dan interaksi yang memungkinkan suatu masyarakat terjadi.

Dengan kata lain kebudayaan adalah segala hal yang menyangkut kehidupan manusia, termasuk aturan atau hukum yang berlaku dalam masyarakat, hasil-hasil yang dibuat manusia, kebiasaan dan tradisi yang biasa dilakukan, dan termasuk juga alat interaksi atau komunikasi yang digunakan, yakni bahasa  dan alat-alat komunikasi nonverbal lainnya.

Kontrajaraningrat (1992) mengatakan bahwa kebudayaan hanya dimiliki manusia, dan tumbuh bersama dengan berkembangnya masyarakat manusia. Dua aspek tolak “kerangka Kebudayaan” yang digunakan oleh Kontjaraningrat untuk memahami kebudayaan adalah sebagai berikut :
1.    Wujud Kebudayaan
Yang disebut wujud kebudayaan itu berupa :
a.    Wujud gagasan (Sistem budaya) yang bersifat abstrak
b.    Perilaku (Sistem sosial) yang bersifat agak konkret
c.    Fisik atau benda (Kebudayaan Fisik) yang bersifat sangat konkret
2.    Isi kebudayaan
Isi kebudayaan terdiri atas tujuh unsur yang bersifat universal, artinya ketujuh unsur ini terdapat dalam setiap masyarakat yang ada di dunia ini. Ketujuh unsur tersebut adalah :
1.    Bahasa
2.    Sistem teknologi
3.    Sistem mata pencaharian hidup atau ekonomi
4.    Organisasi sosial
5.    Sistem pengetahuan
6.    Sistem religi
7.    Kesenian.





1.2  Hubungan Bahasa dan Kebudayaan
Hubungan antara bahasa dan kebudayaan merupakan hubungan subordinatif, dimana bahasa berada di bawah lingkup kebudayaan, namun ini bukanlah satu-satunya konsep yang dibicarakan orang, sebab disamping itu ada pendapatlain yang menyatakan bahwa bahasa dan kebudayaan mempunyai hubungan yang koordinatif, yakni hubungan yang sederajat yang kedudukannya sama tinggi. Masinanbaw (1985) menyebutkan bahwa bahasa (istilah beliau: kebahasaan) dan kebudayaan merupakan dua sistem yang “melekat” pada manusia. Jika kebudayaan adalah satu sistem yang mengatur interaksi manusia di dalam masyarakat, maka kebahasaan adalah suatu sistem yang berfungsi sebagai sarana berlangsungya interaksi itu. Dengan kata lain, hubungan yang erat itu berlaku sebagai: kebudayaan merupakan sistem yang mengatur interaksi manusia, sedangkan kebahasaan merupakan sistem yang berfungsi sebagai sarana keberlangsungan sarana itu.

Jadi pendapat ini mengatakan kebahasaan dan kebuayaan merupakan dua fenomena yang berbeda tetapi hubungannya sangat erat, sehingga tidak dapat dipisahkan. Hal kedua yang menarik dalam hubungan koordinatif ini adalah adanya hipotesis yang sangat kontroversial, yaitu hipotesis dari dua pakar linguistik ternama, yakni Edward Sapir dan Benjamin Lee whorf. Karena itu, hipotesis ini dikenal dengan nama hipotesis Sapir-Whorf, dan lazim juga disebut relativitas bahasa (Inggris: Linguistic relativity). Di dalam hipotesis itu dikemukakan bahwa bahasa bukan hanya menentukan corak budaya, tetapi juga menentukan cara dan jalan pikiran manusia dan oleh karena itu, mempengaruhi pula tingkah lakunya. Dengan kata lain, suatu bangsa yang berbeda bahasanya dari bangsa yang lain, akan mempunyai corak budaya  dan jalan pikiran yang berbeda pula. Jadi, perbedaan-perbedaan budaya dan jalan pikiran manusia itu bersumber dari perbedaan bahasa, atau tanpa adanya bahasa manusia tidak mempunyai pikiran sama sekali. Kalau bahasa itu mempengaruhi kebuayaaan dan jalan pikiran manusia, maka ciri-ciri yang ada dalam suatu bahasa akan tercermin pada sikap dan budaya penuturnya.

Hipotesis Sapir – Whorf ini yang menyatakan perbedaan berpikir disebabkan oleh adanya perbedaan bahasa ini, akan menyebabkan orang Arab, akan melihat kenyataan (realitas) secara berbeda dengan orang Jepang, sebab bahasa Arab tidak sama dengan bahasa Jepang. Dalam ilmu pengetahuan, seperti juga dikemukakan oleh Masinambouw (1985), bahasa itu hanyalah alat untuk menyatakan atau menyampaikan pikiran. Suatu pikiran bila dinyatakan dengan bahasa yang berbeda-beda tidaklah akan menjadi berbeda-beda, pikiran itu akan tetap sama. Hanya karena bahasa itu bersifat unik maka rumusannya mungkin menjadi tidak akan sama.

Orang yang mengikuti pendapat hipotesis Sapir – Whorf itu tidak banyak  : pertama, karena sejak semula orang meragukan bahwa manusia mempunyai perbedaan yang sejauh itu; kedua diketahui kemudian bahwa Whorf telah melakukan beberapa kesalahan teknis dalam kajiannya.

Kalau kita ikuti pendapat Silzer (1990) yang mengatakan bahwa bahasa dan kebudayaan merupakan dua buah fenomena yang terikat. maka apa yang tampak dalam budaya akan tercermin dalam bahasa, atau juga sebaliknya.

Adanya hubungan tindak berbahasa dengan sikap mental para penuturnya ada dibicarakan oleh Koentjaraningrat seorang pakar antropologi Indonesia. Menurut Koentjaraningrat (1990) buruknya kemampuan berbahasa Indonesia sebagian orang Indonesia, termasuk kaum intelektualnya, adalah karena adanya sifat-sifat negatif yang melekat pada mental pada sebagian besar orang Indonesia. Sifat-sifat negative itu adalah suka merehmekan mutu, mental menerabas, tuna harga diri, menjauhi disiplin, enggam bertanggung jawab, dan suka latah atau ikut-ikutan.  Maka dengan adanya sifat-sifat negative itu jika diuraikan dapat disimpulkan bahwa ternyata yang mempengaruhi perilaku berbahasa adalah budaya . budaya disini dalam arti luas, termasuk sifat dan sikap yang dimiliki oleh penutur.

Untuk lebih memahami adanya hubungan budaya dan tindak tutur, serta melihat adanya budaya yang tidak sama, sehingga melahirkaan pola tindak tutur yang berbeda, camkan ilustrasi berikut. Dalam masyarakat tutur Indonesia kalau ada orang memuji, misalnya, dengan mengatakan, “Bajumu bagus sekali!”, atau, “Wah, rumah saudara besar sekali!”, maka yang dipuji akan menjawab pujian itu dengan nada menolak dan merendah, misalnya dengan mengatakan, “Ah, ini cuma baju merah, kok!”, dan, “yah, beginilah namanya juga rumah di kampung!”. Tetapi kalau hal itu terjadi dalam budaya inggris, tentu akan dijawab dengan ucapan, “Terima kasih!”.
   
11.3  Etika Berbahasa
Pendapat Masinambouw (1984) yang mengatakan bahwa sistem bahasa mempunyai fungsi sebagai sarana berlangsungnya interaksi manusia di dalam masyarakat, maka berarti di dalam tindak laku berbahasa haruslah disertai norma-norma yang berlaku di dalam budaya itu. Sistem tindak laku berbahasa menurut norma-norma budaya ini disebut etika berbahasa atau tata cara berbahasa (Inggris: linguistic etiquette, lihat Geertz 1976)

    Etika berbahasa antara lain “mengatur” :
     Apa yang harus kita katakan pada waktu dan keadaan tertentu kepada seorang partisipan tertentu berkenaan dengan status sosial dan budaya dalam masyarakat itu.
    Ragam bahasa apa yang paling wajar kita gunakan dalam situasi sosiolinguistik dan budaya tertentu.
    Kapan dan bagaimana kita menggunakan giliran berbicara kita, dan menyela pembicaraan orang lain.
    Kapan kita harus diam .
    Bagaimana kualitas suara dan sikap fisik kita di dalam berbicara.
   
Seseorang baru dapat disebut pandai berbahasa kalau dia menguasai tata cara atau etika berbahasa itu. Kajian mengenai etika berbahasa ini lazim disebut etnografi berbahasa.

Menurut Kridalaksana (1982:14) dalam bahasa Indonesia ada 9 jenis kata untuk menyapa seseorang, yaitu (1) kata ganti orang, yakni engkau dan kamu; (2) nama diri, seperti Dika dan Nita; (3) istilah perkerabatan, seperti bapak, ibu, kakak dan adik; (4) gelar dan pangkat, seperti dokter, profesor, letnan, dan kolonel; (5) bentuk nomina pelaku (pe+verba), seperti penonton, pendengar, dan peminat; (6) bentuk nomina + ku, seperti Tuhanku, bangsaku, dan anakku; (7) kata-kata deiktis, seperti sini, situ, atau di situ; (8) bentuk nomina lain, seperti awak, bung, dan tuan; dan (9) bentuk zero, seperti tanpa kata-kata. Aspek sosial budaya yang harus dipertimbangkan untuk menggunakan kata sapaan itu adalah yang disapa itu lebih tua, sederajat, lebih muda, atau kanak-kanak; status sosialnya lebih tinggi, sama, atau lebih rendah; situasinya formal atau tidak formal, akrab atau tidak akrab; wanita atau pria; sudah dikenal atau belum dikenal; dan sebagainya.

Gerak-gerik fisik dalam etika bertutur menyangkut dua hal yakni yang disebut kinesik dan proksimik. Yang dimaksud dengan kinesik adalah, antara lain, gerakan mata, perubahan ekspresi wajah, perubahan posisi kaki, gerakan tangan bahu, kepala, dan sebagainya.     Yang dimaksud dengan proksimik adalah jarak tubuh di dalam berkomunikasi atau bercakap-cakap.

Secara terpisah, kinesik dan proksimik merupakan alat komunikasi juga yaitu alat komunikasi nonverbal, atau alat komunikasi nonlinguistic, yang biasa dibedakan dengan alat komunikasi verbal atau alat komunikasi linguistik. 










   














Oleh : Kelompok X
Ketua     : Rahmawati (A1D111028)
Anggota : Sarmin (A1D111036)    
  Hamila (A1D111022)
  Citra Saldayanti (A1D111040)
  Waode Ainun

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS HALUOLEO
KENDARI
2012/2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar